Pemulihan Luka Aceh Pascabencana Banjir dan Longsor: Ingin Menyulam Simfoni atau Mengulang Elegi?

  • Bagikan
Pemulihan Luka Aceh Pascabencana Banjir dan Longsor. foto ilustrasi

 

Oleh: Andra Fanizha Mendrofa, S.H., M.H.

(Alumnus Prodi Magister Hukum Universitas Malikussaleh)

Aceh kembali berada dalam dekapan duka. Pekan ini, ketika awan kelabu masih enggan beranjak dari langit Tanah Rencong, sisa-sisa lumpur banjir dan material longsor masih menutup urat nadi transportasi di Aceh Tamiang, Bener Meriah, hingga Aceh Tengah. Namun, di tengah perjuangan warga memulihkan diri, sebuah fenomena sosiologis muncul ke permukaan: konvoi bendera Bulan Bintang.

Andra menyoroti fenomena ini sebagai sebuah paradoks yang menyesakkan. Menurutnya, Aceh saat ini sedang diuji untuk memilih: apakah akan menyulam simfoni persatuan pasca-bencana, atau justru mengulang elegi perpecahan masa lalu.

Anomali Empati di Tengah Lumpur

Secara sosiologis, kemunculan simbol-simbol politik di tengah bencana menunjukkan adanya identity persistence yang kuat. Namun, Andra menilai tindakan tersebut secara semiotik salah waktu.

“Bagi seorang anak di pelosok yang buku sekolahnya hanyut, atau seorang ibu yang tungku masaknya tertimbun tanah, dialektika tentang bendera terasa hambar. Ini adalah anomali empati,” tulisnya.

Ia menekankan bahwa fase rehabilitasi dan rekonstruksi memerlukan sinergi total. Memaksakan simbol politik di saat rakyat sedang berjibaku dengan lumpur hanya akan menciptakan distrupsi terhadap kohesi sosial yang selama ini dibangun dengan susah payah.

Menghindari “Spiral Kekerasan”

Selain menyoroti para peserta konvoi, Andra juga memberikan catatan kritis bagi aparat keamanan. Dalam studi resolusi konflik, reaksi aparat merupakan variabel krusial. Pendekatan yang represif dikhawatirkan justru akan menjadi bensin bagi api provokasi.

Mengutip teori Johan Galtung, ia memperingatkan bahaya spiral of violence. “Kekerasan akan melahirkan kemarahan, dan kemarahan akan menciptakan solidaritas semu yang destruktif. Perdamaian Helsinki yang telah kita rawat dua dekade bisa retak berkeping-keping jika aparat tidak menggunakan kecerdasan emosional,” ungkapnya.

Ia mendorong aparat untuk menjadi “penjaga cahaya” dengan mengedepankan dialog ketimbang kekuatan fisik, guna menjaga memori kolektif masyarakat agar tidak kembali tergores luka lama.

Prioritas: Kemanusiaan di Atas Politik

Di atas segalanya, fokus utama Aceh hari ini seharusnya adalah disaster recovery. Data menunjukkan kerugian ekonomi akibat banjir dan longsor kali ini menuntut energi dan dana yang sangat besar.

Secara teoretis, human security (keamanan manusia) harus ditempatkan di atas political security. Hak warga untuk mendapatkan pangan, tempat tinggal, dan akses kesehatan adalah prioritas mutlak yang melampaui ego sektoral maupun simbolisme bendera.

Menenun Kembali Perdamaian

Menutup narasinya, Andra mengajak seluruh elemen masyarakat Aceh untuk kembali pada kearifan lokal meuseuraya atau gotong royong.

“Rakyat lebih butuh tanganmu untuk mencangkul lumpur daripada tanganmu untuk memegang tiang bendera,” pesannya kepada para penggerak konvoi.

Kini, pilihan ada di tangan masyarakat dan pemangku kepentingan di Aceh. Apakah mereka akan terus terjebak dalam romantisme perjuangan yang memicu polemik, atau bersatu dalam frekuensi kemanusiaan untuk memastikan Aceh tetap menjadi simfoni yang indah bagi generasi mendatang.

  • Bagikan
Exit mobile version