Lhokseumawe, Durasi – Pemberian Anugerah Penghargaan Wartawan Konflik Damai Aceh yang digelar pada Jum’at malam, 15 Agustus 2025, di Banda Aceh, menuai sorotan. Sejumlah jurnalis yang selama ini dikenal aktif meliput konflik dan proses perdamaian Aceh tidak tercantum dalam daftar penerima penghargaan, memunculkan dugaan praktik pilih kasih oleh panitia pelaksana.
Penghargaan yang semestinya menjadi bentuk apresiasi atas kontribusi jurnalis dalam memberitakan dinamika konflik Aceh dan perjalanannya menuju damai, justru dinilai mencederai semangat objektivitas. Beberapa wartawan senior yang telah terjun langsung ke wilayah konflik selama masa-masa genting, mengaku tidak mendapat informasi atau undangan terkait penghargaan tersebut.
“Banyak nama besar yang justru tak masuk daftar. Ada kesan penghargaan ini hanya diberikan kepada mereka yang dekat dengan panitia,” ucap Wartawan Senior Aceh, Idris Bendung didampingi Armia AM.
Idris Bendung mengaku, pernah meliput suatu peristiwa besar kala itu kala helikopter milik aparat keamanan ditembak kawanan GAM dibawah pimpinan Sofyan Dawood. ia, kesana bersama beberapa rekan wartawan eks konflik, diantaranya Almarhum Umar HN, Muhammad AH, Munir Nur, Zainal Bakri, dan Reporter Televisi Indosiar perempuan dari Bali.
” Seharusnya yang memperoleh anugerah itu yang benar-benar ikut meliput langsung ke lokasi. Harus dibedakan yang mana wartawan kantoran dan mana yang namanya wartawan lapangan, ” papar sang legend yang kala itu tercatat sebagai Wartawan Sumut Pos.
Pemberian penghargaan ini harus dicek dan ricek secara benar. Utamakan dulu yang memang bagi mereka yang berada di garis depan meliput konflik.
” Anugerah sih gak Apa-apa kepada wartawan. Tapi, seharusnya lebih layak lagi, seperti kalangan eks kombatan maupun anak yatim korban konflik yang belum tersentuh, ” ungkap Pembina Dewan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Aceh (DPP-PWA), Idris Bendung.
Nada yang sama juga diungkapkan Wartawan Senior, Armia Am, bahwa panitia untuk lebih transparan dalam proses seleksi dan penentuan penerima penghargaan, mengingat pentingnya menjaga marwah profesi jurnalistik. Terutama dalam konteks sejarah panjang konflik Aceh.
” Eskalasi konflik yg paling tinggi itu terjadi di wilayah timur Aceh, mulai Aceh Utara, Lhokseumawe, Pidie, Bireuen, Aceh Timur, dan beberapa lainnya. Ini menjadi prioritas oleh panitia penyelenggara, ” tutur eks Reporter RRI kondang itu.
Sebut Dia, ada beberapa pembuktian yang dapat menjadi dasar diberikannya anugerah tersebut. Misalkan, memiliki identitas atau id card, dokumentasi foto, video, berita, hingga keterangan otentik dari Senior Pers.
” Jika wartawan meliput konflik tentu harus memiliki identitas yang jelas dari penguasa Darurat Militer. Hal-hal ini harus menjadi landasan awal pemberian, ” pungkasnya.
Ketua Badan Reintegrasi Aceh (BRA), Jamaluddin, menolak diwawancarai Durasi. Beliau tidak bersedia memberikan keterangannya terkait perihal dimaksud.