JAKARTA – DEBAT calon presiden pertama di Indonesia yang diselenggarakan pada Selasa (12/12/2023) malam, yang menjadi wadah menempa opini publik, tidak mengecewakan. Debat ini menjadi panggung di mana retorika, pengetahuan kebijakan, dan kemampuan untuk bertahan dalam panasnya pertarungan politik diuji.
Debat ini mempertemukan Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo untuk berdebat mengenai isu-isu penting bangsa ini: hukum, korupsi, hak asasi manusia, demokrasi, dan pemerintahan. Anies Baswedan, mantan gubernur Jakarta, muncul sebagai The Most Valuable Player (MVP) malam itu.
Penampilannya tidak hanya terkenal karena isi argumennya, tetapi juga karena cara penyampaiannya.
Dari awal hingga akhir, Anies secara konsisten menyerang Prabowo Subianto, calon terdepan saat ini, yang menandai kehadirannya bukan hanya sebagai kandidat, tetapi juga sebagai penantang serius untuk kursi kepresidenan. Anies mengambil sikap yang kuat terhadap kondisi demokrasi di Indonesia, mengkritik menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan menyuarakan isu-isu yang lebih luas tentang kebebasan berekspresi dan transparansi pemilu. Argumennya bahwa demokrasi Indonesia telah terbukti tidak dapat dipercaya, sangat menarik perhatian banyak pemilih yang kecewa dengan status quo.
Ambivalensi Prabowo terhadap sikap politiknya, yang sering kali merujuk pada pencapaian pemerintahan Jokowi, memperkenalkan dualitas dalam pesan kampanyenya.
Tagline-nya menunjukkan kesinambungan dengan kebijakan Jokowi, namun kritik-kritiknya menyiratkan adanya perbedaan. Jukstaposisi ini menciptakan gambaran yang rumit bagi para pemilih karena Prabowo berada di tengah-tengah antara mengklaim warisan Jokowi dan menyampaikan agendanya. Seruan Anies untuk melakukan perubahan lebih dari sekadar basa-basi; ia mengadvokasi pendanaan partai politik yang transparan.
Kritiknya terhadap perjalanan politik Prabowo, terutama keputusannya untuk bergabung dengan kabinet Presiden Joko Widodo, merupakan langkah strategis untuk melemahkan klaim Prabowo sebagai politik anti-kemapanan. Dengan melakukan hal tersebut, Anies memosisikan dirinya sebagai seorang reformis yang siap untuk menantang norma-norma politik yang telah mengakar. Prabowo, di sisi lain, tampak berada di posisi bertahan sepanjang debat. Upaya ketiganya untuk merebut kursi kepresidenan sarat dengan beban berat dari karier militernya pada masa lalu dan hubungannya dengan pemerintahan saat ini.
Keputusannya untuk memilih putra Presiden Jokowi sebagai calon wakil presiden telah dilihat oleh banyak orang sebagai langkah oportunis, sentimen yang tidak ragu-ragu dimanfaatkan oleh Anies. Tanggapan Prabowo, yang sering dianggap marah dan defensif, tidak banyak meredakan kekhawatiran tentang temperamennya, aspek penting dari citra publiknya.
Terlepas dari upaya Prabowo Subianto untuk mengembangkan citra ‘gemoy’, yang bertentangan dengan reputasinya sebagai orang kuat yang sudah mapan, debat tersebut mengungkapkan batas-batas perubahan citra semacam itu. Sesekali ia terjun ke dalam momen-momen yang lebih ringan, termasuk mencoba gerakan seperti tarian, terasa seperti dipaksakan untuk melunakkan citranya.
Namun, momen-momen ini tidak banyak membantu untuk menyamarkan temperamennya yang terkadang muncul ke permukaan.
Panggung debat dengan demikian menjadi lensa yang memperbesar sifat-sifat melekat yang mendefinisikan dirinya: Prabowo tetaplah Prabowo, dengan segala kekuatan dan kerentanan yang melekat pada karakternya. Persepsi pemilih tentang keaslian versus kinerja akan menjadi faktor signifikan ketika mereka menimbang pencalonan Prabowo terhadap para pesaingnya. Debat ini juga menyoroti putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden, isu yang sulit diatasi oleh Prabowo dengan memuaskan. Desakannya tentang kecerdasan dan kemampuan rakyat untuk membedakan kebenaran tampak seperti upaya untuk menangkis kritik tanpa secara langsung terlibat dengan substansi tuduhan yang dilontarkan kepadanya.
Ganjar Pranowo, meskipun memberikan penampilan yang mengesankan, awalnya tampil di luar tema. Namun, ia dengan cepat mendapatkan kembali ketenangannya dan secara efektif menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai tingkat pengangguran di Jawa Tengah dan program Kartu Tani. Kemampuan Ganjar untuk berputar dan memberikan jawaban yang substantif menunjukkan tingkat persiapan dan kemampuan beradaptasi yang membantunya dengan baik dalam debat. Sementara itu, Ganjar tampak bergulat dengan narasi kampanyenya. Dukungannya terhadap proyek-proyek seperti IKN, terlepas dari slogan “perbaiki” yang diusungnya, menunjukkan upaya untuk menyelaraskan diri dengan inisiatif-inisiatif Jokowi yang telah berhasil sambil tetap menegaskan visinya untuk perbaikan.
Keseimbangan antara advokasi untuk proyek-proyek yang sedang berjalan dan janji reformasi menunjukkan sikap yang harus diklarifikasi oleh Ganjar kepada para pemilih seiring berjalannya kampanye. Selain itu, debat tersebut secara khusus menyoroti isu pelanggaran hak asasi manusia masa lalu, di mana Prabowo sangat rentan. Selain itu, tanggapannya terhadap pertanyaan mengenai kerusuhan pemilu 2019 dan keputusan Mahkamah Konstitusi menunjukkan keengganannya untuk berkomitmen.
Sikap defensif ini, daripada strategi yang tegas dan progresif, mungkin tidak meyakinkan pemilih yang masih ragu-ragu.
Dalam konteks politik Indonesia yang lebih luas, perdebatan ini lebih dari sekadar pertarungan antartokoh, melainkan mikrokosmos dari dinamika politik dan sosial yang sedang terjadi.
Debat tersebut menyoroti ketegangan antara kebutuhan akan pemerintahan yang progresif dan tarikan kepentingan yang sudah mengakar dan struktur kekuasaan tradisional. Perdebatan ini juga menggarisbawahi perubahan sifat komunikasi politik di Indonesia. Kemampuan untuk menavigasi narasi media dan persepsi publik menjadi semakin penting.
Penampilan Anies menunjukkan pemahaman yang tajam tentang realitas baru ini, sementara Prabowo enggan untuk terlibat.
Anies, dengan tagline “perubahan” yang jelas, mengambil pendekatan yang berbeda dengan secara langsung mengkritik semua kebijakan yang terkait dengan pemerintahan Jokowi. Strateginya sangat kontras dengan kandidat lainnya, memosisikannya sebagai kandidat reformasi dan tindakan langsung terhadap kegagalan yang dirasakan oleh pemerintah saat ini. Penampilan para kandidat dalam debat pertama ini menjadi penentu jalannya kampanye. Anies telah memosisikan dirinya sebagai penantang serius bagi Prabowo, dengan memanfaatkan kelemahan Prabowo yang dirasakan.
Ganjar telah menunjukkan bahwa ia dapat bertahan, dan penampilan selanjutnya akan menentukan apakah ia dapat mengonsolidasikan posisinya sebagai alternatif yang kredibel dari para kandidat terdepan saat ini.
Anies Baswedan tampil tegas, memperjuangkan reformasi dan transparansi untuk merebut kembali kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Prabowo Subianto, yang bergulat dengan warisan orang kuatnya, mendapati pijakannya diuji oleh lanskap politik yang menuntut ketangguhan dan pendekatan yang keras. Ganjar Pranowo menunjukkan kemampuan beradaptasi, menyeimbangkan dukungannya untuk inisiatif saat ini dengan dorongan untuk kemajuan yang bernuansa.
Ketika para kandidat menavigasi kampanye yang penuh dengan kerumitan politik, mereka harus menyelaraskan visi mereka dengan ekspektasi pemilih yang terus berkembang. Prabowo harus menyempurnakan narasi yang mendamaikan masa lalunya dengan agenda ke depan, sementara Ganjar harus mengkristalisasi sikapnya antara kelanjutan dan reformasi.
Anies, yang memanfaatkan momentum perubahan, menghadapi tantangan untuk membuktikan substansi di balik kritik-kritiknya. Debat ini telah meletakkan dasar bagi siklus pemilihan umum di mana keterlibatan pemilih dan pengawasan kebijakan akan membentuk jalan Indonesia ke depan.
Seiring dengan berlangsungnya kampanye, para kandidat akan ditugaskan untuk mengartikulasikan platform mereka dan mewujudkan kualitas kepemimpinan yang sesuai dengan masyarakat Indonesia.
Pemilihan umum kali ini tidak hanya akan menentukan siapa presiden berikutnya. Namun, hal ini juga akan mencerminkan pendewasaan proses demokrasi di Indonesia, yang menandakan kesiapan bangsa ini untuk melangkah ke masa depan yang ditentukan oleh pilihan tepat dan wacana politik kuat. (*)