Oleh: Teungku Faisal Ali, Ketua MPU Aceh
Di bumi Aceh yang diberkahi ini, Islam bukan sekadar identitas kultural, tetapi sendi kehidupan yang menuntun setiap langkah masyarakatnya. Nilai-nilai Al-Qur’an telah menjadi cahaya yang menuntun sejarah panjang daerah ini sejak masa ulama terdahulu. Oleh sebab itu, ketika muncul gagasan agar calon rektor di Aceh diwajibkan mengikuti tes baca Al-Qur’an, kita tidak sedang menambah beban administratif—melainkan sedang menghidupkan kembali ruh pendidikan yang berpijak pada nilai ketakwaan.
Uji baca Al-Qur’an bukanlah sekadar ritual formalitas. Ia adalah simbol kejujuran dan komitmen terhadap ilmu yang berakhlak. Seorang pemimpin di perguruan tinggi, apalagi di lembaga ilmu keislaman, seyogianya menjadi teladan dalam kecintaan terhadap kalamullah. Dengan kemampuan membaca dan memahami Al-Qur’an, seorang rektor diharapkan mampu membangun arah kebijakan kampus yang tidak hanya unggul secara akademik, tetapi juga memiliki orientasi spiritual dan moral.
Kita tidak menafikan bahwa aturan mengenai pemilihan rektor diatur oleh ketentuan hukum positif negara. Namun, dalam bingkai kekhususan Aceh, tes baca Al-Qur’an dapat menjadi pelengkap yang memperkaya substansi moral dari proses tersebut. Ini bukan sekadar syarat administratif, melainkan cermin bagi kita semua: apakah calon pemimpin itu siap memikul tanggung jawab lahir dan batin dalam menjalankan amanah ilmiah dan religius?
Di masa depan, kita berharap perguruan tinggi di Aceh dapat menjadi pusat pencerahan yang melahirkan ilmuwan dan teknokrat yang berjiwa Qur’ani. Kepemimpinan akademik harus bersandar pada nilai-nilai spiritual agar ilmu yang dikembangkan tidak tercerabut dari akar moral. Itulah sebabnya, uji baca Al-Qur’an bukan untuk membatasi calon rektor, tetapi untuk memastikan bahwa pemimpin kampus benar-benar memahami ruh keilmuan Islam yang menjadi identitas Aceh.
Kita ingin melahirkan generasi pemimpin kampus yang bukan hanya fasih berbicara tentang inovasi dan teknologi, tetapi juga memahami makna taqwa dan keadaban dalam setiap kebijakan yang diambil. Tes baca Al-Qur’an menjadi pagar awal agar pendidikan tinggi di Aceh tetap berjalan di atas landasan yang diridhai oleh Allah SWT.
Dengan demikian, gagasan ini perlu kita pandang sebagai wujud tanggung jawab moral, bukan beban normatif. Bila Aceh ingin mempertahankan kekhususan yang diwariskan para ulama, maka setiap kebijakan, termasuk pemilihan rektor, harus menunjukkan keselarasan antara ilmu, iman, dan amal. Sebab kemajuan yang sejati bukan hanya terletak pada kecanggihan akal, tapi pada kejernihan hati yang senantiasa terhubung dengan Al-Qur’an.
