Oleh : Don Muji Alfurqan, Tokoh Muda Aceh
Ketika bencana melanda Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Aceh baik banjir bandang dan, longsor, gempa, maupun krisis ekologis yang berulang harapan masyarakat hanya satu, negara hadir sepenuhnya.
Namun harapan itu kembali dipatahkan ketika pemerintah tidak menetapkan bencana nasional yang begitu luas dan melumpuhkan sebagai bencana nasional. Keputusan ini bukan sekedar persoalan administratif, tetapi menyentuh langsung pada soal kemanusiaan, keadilan, dan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
Tidak ditetapkannya status bencana nasional berdampak nyata. Akses bantuan menjadi terbatas, koordinasi lintas lembaga melemah, dan beban penanganan sebagian besar dilimpahkan kepada pemerintah daerah yang jelas memiliki sumber daya terbatas.
Akibatnya, korban bencana harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan bantuan layak, layanan kesehatan darurat, dan pemulihan kehidupan yang manusiawi. Dalam situasi seperti ini, negara seolah hadir setengah hati.
Pertanyaannya apakah ini bisa disebut sebagai krisis kemanusiaan ? Jawabannya, ya. Ketika rakyat kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, akses pangan, dan layanan kesehatan, sementara negara tidak mengerahkan seluruh kekuatannya, maka yang terjadi bukan sekadar bencana alam, melainkan bencana kemanusiaan.
Penderitaan yang dibiarkan berlarut-larut adalah bentuk kegagalan moral dan politik.
Lebih jauh lagi, muncul istilah yang menyakitkan namun relevan untuk direnungkan.
Pembunuhan Secara Halus
Ketika negara tahu ada penderitaan massal. Namun, memilih untuk tidak mengambil langkah maksimal. Maka, negara sedang membiarkan rakyatnya perlahan-lahan hancur oleh penyakit, kelaparan, trauma, dan kemiskinan struktural pascabencana.
Sebagai pemuda asli Aceh, saya tidak bisa menutup mata. Aceh memiliki sejarah panjang penderitaan, konflik, dan bencana. Dari tsunami hingga bencana ekologis hari ini, Aceh terlalu sering diuji.
Maka ketika bencana kembali datang dan negara tidak memberikan status nasional, rasa keadilan itu kembali dilukai. Seolah-olah penderitaan di pinggiran tidak sepenting penderitaan di pusat kekuasaan.
Pemerintah seharusnya memahami bahwa menetapkan bencana Aceh sebagai bencana nasional bukan soal gengsi politik atau hitung-hitungan anggaran semata. Ini adalah pernyataan sikap bahwa setiap nyawa warga negara bernilai sama, di mana pun mereka berada. Negara tidak boleh hadir dengan logika minimalis ketika rakyatnya berada dalam kondisi maksimal menderita.
Jika negara terus abai, maka kritik akan semakin keras. Bukan karena kebencian, tetapi karena cinta pada kemanusiaan dan keadilan. Sebab negara yang besar bukan hanya diukur dari pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik, tetapi dari keberaniannya melindungi rakyat yang paling lemah ketika mereka paling membutuhkan.
Tanggung Jawab Negara
Kami sangat menyayangi merah putih dan garuda selalu di dada, namun sayangnya para Pemimpin Republik sekarang sangat lah menyiksa hati kami rakyat aceh, alam di EKPLOITASI bagaimana kondisi kami anak negeri untuk melewati bencana ini ,70 persen rakyat bergantung pada sawah ,tambak dan perkebunan kini lenyap akibat musibah bencana alam. Rakyat aceh kini tidak bisa bergerak untuk mengatasi kerbelangsungan kehidupan ini ,sedangkan mata pencarian hanya di sektor itu saja.
Bagaimana saya tidak menduga Pemerintah telah melakukan kejahatan kemanusian seperti ini, kita sangat membutuhkan uluran tangan dari semua pihak untuk membantu masyarakat aceh dan Sumatra yang terdampak musibah banjir, malah dengan hati riang gembira para menteri kabinet merah putih, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi mengatakan pemerintah masih sanggup mengatasi seluruh masalah bencana Sumatera.
Menlu Tutup Pintu Asing
Hingga saat ini Indonesia melalui Menlu Sugiono, belum membuka pintu bantuan negara asing untuk menangani bencana Sumatera. Semuanya luluh lantak, dimana mayat bergelimpangan, korban mengungsi, rumah hancur, bencana kelaparan dan kematian menghantui.
Apakah ini bukan sebuah kekejaman politik ekstrem untuk aceh, mengingat aceh daerah konflik lahirlah perdamaian sehingga sebuah kutukan Istana untuk aceh, kalau tidak menetapkan bencana nasional dan tidak sanggup mengatasi persoalan banjir maka jangan menghambat bantuan dari luar. Sungguh ironis dan lucu kalau ada pun bantuan dari luar negeri untuk banjir di Sumatra ini pun akan dikenakan cukai apa ini tidak lucu.
Semoga sehat Negeriku Indonesia, kita mencintai republik ini dan Aceh adalah bagian dari Republik Indonesia.









