Refleksi Solidaritas dan Tantangan Kebijakan dalam Krisis Pengungsi Rohingya

  • Bagikan
Refleksi Solidaritas dan Tantangan Kebijakan dalam Krisis Pengungsi Rohingya

BANDA ACEH – Gelombang kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh kembali menjadi sorotan, mengingatkan pentingnya solidaritas kemanusiaan dalam menghadapi krisis global.

Berdasarkan data UNHCR, dari November 2023 hingga Oktober 2024, sebanyak 17 kapal dengan 2.026 pengungsi Rohingya atau 73 persen di antaranya perempuan dan anak-anak tiba di Aceh dan Sumatera Utara.

Saat ini, sebanyak 1.175 pengungsi masih tinggal di tempat penampungan sementara yang tersebar di Aceh, Sumatera Utara, dan Riau. Banyak di antara mereka berada dalam kondisi kesehatan buruk akibat perjalanan panjang, sementara setidaknya 20 pengungsi dilaporkan meninggal dunia di perairan Aceh.

Koordinator Program Yayasan Geutanyoe, Surya Ramli, mengatakan pihaknya langsung memberikan bantuan kemanusiaan setelah pendaratan pengungsi.

“Kami berupaya menyediakan kebutuhan dasar bagi para pengungsi Rohingya,” kata Surya Ramli, Jumat (20/12).

Surya juga menekankan perlunya mendukung masyarakat sekitar pengungsian. “Kehadiran pengungsi sering memberikan tekanan tambahan pada sumber daya lokal,” katanya.

Direktur Yayasan Geutanyoe, Al Fadhil, menambahkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat juga menjadi bagian penting dari solusi.

“Masyarakat lokal perlu diberdayakan agar dapat mengelola situasi ini dengan baik tanpa mengorbankan kebutuhan mereka sendiri. Bahkan, kehadiran pengungsi seharusnya memberikan manfaat dalam peningkatan kapasitas dan ekonomi,” jelasnya.

Fadhil juga mengajak media untuk berperan aktif dalam meningkatkan kesadaran publik terhadap isu ini. “Kami berharap media dapat menjadi jembatan komunikasi untuk menguatkan solidaritas masyarakat,” katanya.

Di sisi lain, permasalahan hukum menjadi tantangan serius. SUAKA melaporkan ada 90 aduan terkait pembatasan hak, penentuan status pengungsi, hingga implementasi hukum nasional di Jakarta dan sekitarnya hingga November 2024.

Perwakilan SUAKA, Jayanti Aernee, menyebut perhatian pemerintah pusat terhadap isu pengungsi masih sangat minim. “Hingga kini, belum ada tanda pemerintah serius menangani isu ini pada 2025,” ujarnya.

Untuk menghadapi tantangan ini, SUAKA bersama AJAR dan Dompet Dhuafa menginisiasi pertemuan organisasi masyarakat sipil pada awal Desember guna membahas strategi advokasi di masa mendatang.

Berdasarkan peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri dinilai sebagai langkah awal yang baik, tetapi dinilai belum cukup komprehensif.

“Diperlukan penguatan nilai-nilai hak asasi manusia dalam penerapannya. Bahkan isu kesehatan mental dan kekerasan berbasis gender juga menjadi sorotan,”ungkapnya.

Komisioner Komnas Perempuan, Santyawanti Mashudi, menyatakan pihaknya terus memantau kondisi pengungsi perempuan dan anak. “Kami fokus pada perlindungan kelompok rentan ini,” tegasnya.

Santyawanti menambah krisis pengungsi Rohingya ini mengingatkan pentingnya kerja sama semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun organisasi kemanusiaan.

“Hal ini untuk memperkuat solidaritas dan mendorong kebijakan yang lebih responsif serta berbasis hak asasi manusia,” pungkasnya.

  • Bagikan