BANDA ACEH – Anggota DPRA dari Partai Aceh, Saiful Bahri alias Pon Yaya, resmi menjabat sebagai Ketua DPRA sisa masa jabatan 2019-2024 menggantikan Dahlan Jamaluddin.
Pon Yaya yang mengenakan pakaian adat Aceh dilantik oleh Ketua Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Gusrizal, dalam rapat paripurna istimewa yang dipimpin oleh Plt Ketua DPRA, Safaruddin di Gedung DPRA, Jumat (13/5/2022).
Usai diambil sumpah dan dilantik, Pon Yaya dipeusijuek oleh Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al Haytar.
Pon Yahya dilantik setelah Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian mengesahkan pengangkatan dirinya dan menyetujui pergantian Dahlan Jamaluddin dari posisi ketua DPRA.
Usai dilantik, Pon Yaya menyampaikan pidato pertamanya sebagai Ketua DPRA.
“Ideologi yang menyadarkan kita semua, bahwa Aceh adalah sebuah bangsa besar yang merdeka dan berdaulat serta sejajar dengan bangsa-bangsa merdeka lainnya,” katanya yang disambut tepuk tangan anggota dewan lain.
Tidak lupa dia juga menyampaikan terima kasih kepada Wali Nanggroe Aceh Tgk Malik Mahmud Al-Haytar dan Muzakir Manaf (Mualem) selaku Ketua Umum DPA Partai Aceh beserta jajaran pengurus Partai Aceh yang telah mempercayakan jabatan ini kepada dirinya.
Ucapan terima kasih juga disampaikan Pon Yaya kepada pimpinan dan seluruh anggota DPRA, terkhusus kepada mantan ketua DPRA, H Dahlan Jamaluddin SIP.
Pon Yaya mengatakan, Dahlan telah secara luar biasa dan ‘meu-aneuk agam’ mengawal proses pergantian dirinya dari posisi ketua lembaga.
“Saya berharap kepada seluruh rakyat Aceh, terkhusus kepada para anggota DPR Aceh sebagai representasi rakyat Aceh, agar dapat membantu saya bahu-membahu untuk bekerja memperjuangkan aspirasi rakyat Aceh,” pinta Pon Yaya.
Setelah menyampaikan ucapan terima kasih, Pon Yaya mengungkapkan perjalanan 17 tahun perdamaian Aceh tidak seindah yang dijanjikan oleh pemerintah Indonesia.
Masih terdapat poin-poin kesepakatan yang menjadi tanggung jawab pemerintah Indonesia yang belum dijalankan secara keseluruhan.
Banyak permasalahan yang menjadi alasan pemerintah Indonesia belum bisa merealisasikannya.
Oleh karena itu, sisa jabatan ketua DPR Aceh selama 2 tahun 4 bulan yang akan saya jalani ini akan saya manfaatkan sebaik mungkin untuk berjuang dalam menagih dan mengingatkan pemerintah Indonesia agar dapat menunaikan kewajiban mereka,” tukasnya.
Dalam kesempatan itu, Pon Yaya menyampaikan sepuluh isu-isu yang belum terealisasi dalam perjanjian damai MoU Helsinki, di antaranya revisi Undang-Undang RI Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang sesuai dengan MoU Helsinki.
Dimana semangat revisi harus dalam konteks penguatan kekhususan dan keistimewaan Aceh.
“Kelembagaan dan pelimpahan kewenangan dari Badan Pertanahan Nasional wilayah Aceh ke Dinas Pertanahan Aceh.
Perbatasan Aceh dengan Provinsi Sumatera Utara merujuk pada perbatasan tanggal 1 juli 1956,” sebut Pon Yaya.
Pon Yaya berjanji, kesemua isu yang disampaikannyatersebut akan menjadi prioritasnya secara kelembagaan.
“Kesemua isu tersebut bukanlah pekerjaan yang ringan, oleh karena itu dibutuhkan kerja sama dan kekompakan serta usaha yang totalitas dari kita semua.
Mari kita tinggalkan sikap-sikap yang individual dan sektarian, berganti dengan sikap persatuan dan semangat kebersamaan,” ujarnya.
“Inti jih geutanyoe Aceh beu merdeka, ta ato droe keudroe teuh lam manbandum sektor publik sesuai lagee MoU Helsinki (Intinya kita Aceh harus merdeka, kita atur sendiri semua sektor sesuai dengan MoU Helsinki,” tutup Pon Yaya. []