LHOKSEUMAWE – Terkait penetapan lima tersangka kasus dugaan korupsi proyek Monumen Islam Samudera Pasai di Aceh Utara yang dilakukan Kejaksaan Negeri Aceh Utara pada tahun 2021 dengan perkiraan kerugian 20 miliar lebih, menjadi sorotan Anggota Komisi III DPR RI, Muhammad Nasir Djamil.
Nasir Djamil menyebut Jaksa Agung sudah mengingatkan jajarannya agar tidak “mempermainkan hukumâ€. Oleh karena itu, kata dia, jangan ada upaya untuk menggagalkan sebuah peradaban hanya karena ingin menciptakan ada sebuah produk hukum di lingkungan sebuah institusi kejaksaan.
“Saya sudah melihat secara langsung Monumen Samudra Pasai, bagi saya itu sangat monumental, sangat fenomenal dan itu akan menjadi daya tarik yang luar biasa terutama bagi yang mencintai sejarah. Tapi hari ini saya melihat tampak terbengkalai seperti rumah tidak bertuan, karena ada proses hukum yang sedang menimpa monumen Samudera Pasai.
Idealnya memang proses hukum itu tidak mengganggu pembangunan Monumen Samudra Pasai. Sehingga masyarakat juga berhak untuk menikmati keindahan monumen bernilai sejarah itu. Kita berharap, kalau memang ragu, ditutup saja kasus itu. Kalau misalnya aparat penegak hukum ragu, tidak yakin, bimbang dengan apa yang disangkakan itu jangan lama-lama, ditutup saja.
Karena jangan sampai apa yang disinyalir oleh Jaksa Agung bahwa jangan menjadikan hukum sebagai permainan, itu ternyata ada di lapangan,†kata Nasir Djamil kepada para wartawan usai tampil pada Seminar bertajuk “Mengapa Kita (Masih) Memerlukan Jurnalismeâ€, yang digelar Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Korda Lhokseumawe Raya, di Hotel Rajawali, Lhokseumawe, Sabtu (6/8/2022).
Nasir Djamil menilai uang negara yang sudah digelontorkan untuk pembangunan monumen itu puluhan miliar. Sementara bangunan tidak bisa dipakai. Jadi, sama saja memang proses hukum itu membuat bangunan monumen menjadi mubazir, karena orang pada takut. Pemerintah Pusat juga takut mengucurkan dana bersumber APBN untuk tahun-tahun berikutnya, karena itu (pembangunan monumen) dalam proses hukum, ungkapnya.
“Jadi, harapan saya kalau bimbang, ragu, kalau tidak yakin dengan apa yang disangkakan terkait Monumen Samudera Pasai itu sebaiknya dihentikan saja. Lagi pula undang-undang memberikan ruang kepada aparat penegak hukum untuk menutup suatu perkara. Jadi, jangan dipaksakan sesuatu yang tidak ada. Jangan diadakan-adakan sesuatu yang tidak ada, kita ingin menyelamatkan suatu peradaban di Bumi Serambi Mekah ini,†tegas Nasir Djamil.
Tentu saja pihaknya tidak bisa mengintervensi penegakan hukum, tetapi bisa mengingatkan jangan sampai penegakan hukum itu mematikan atau meniadakan upaya untuk membangun sebuah peradaban. Samudera Pasai itu terkenal bukan hanya di Nusantara, tapi di seluruh dunia. Maka diharapkan Monumen Islam Samudra Pasai ini bisa menjadi daya tarik bagi wisatawan. Terutama bermanfaat untuk para pencari ilmu tentang sejarah kejaraan-kerajaan Islam,†ungkap Nasir.
Diberitakan sebelumnya, Kejari Aceh Utara Tetapkan 5 Tersangka Diduga Korupsi 20 Miliar, Monumen Islam Samudera Pasai https://youtu.be/XfQvQy4XLYg
Kejaksaan Negeri Aceh Utara, menetapkan lima tersangka dalam kasus dugaan korupsi pembangunan Monumen Islam Samudera Pasai, di Desa Beuringen, Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara. Proyek itu sejak tahun 2012 hingga 2017 menghabiskan dana sebesar Rp 49,1 miliar.
Kelima tersangka itu yakni mantan kepala dinas, berinisial F, selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), pegawai negeri sipil Aceh Utara berinisial N, selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), pengawas proyek berinisial P, dua kontraktor masing-masing berinisial T dan R. Kajari Aceh Utara, Diah Ayu Hartati, dihubungi via seluler, Jumat (6/8/2021) menyebutkan, kelimanya sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“Baru kami tetapkan, belum dilakukan penahanan,†sebut Diah. Dia merincikan, proyek itu dikerjakan secara bertahan. Sejak tahun 2012 – 2016 proyek ini berada di Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan, Kabupaten Aceh Utara. Sedangkan pada tahun 2017 proyek yang menjadi ikon Kerajaan Samudera Pasai itu berada dibawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Aceh Utara.
“Tahun 2012 proyek ini dikerjakan PT PNM dengan angggaran senilai Rp 9,5 Miliar. Lalu tahun 2013 Rp 8,4 Miliar dikerjakan oleh PT LY, berikutnya 2014 dikerjakan PT TH dengan anggaran Rp 4,7 Miliar. Pada tahun 2015 Rp 11 Miliar dikerjakan PT PNM, tahun 2016 dikerjakan PT TH Rp 9,3 Miliar dan tahun 2017 Rp 5,9 Miliar dikerjakan PT TAP,†beber Diah.
Dia menegaskan, timnya bekerja sejak Mei 2021 hingga awal Juni 2021. Sejumlah saksi ahli, rekanan dan mantan pejabat yang bertanggungjawab untuk proyek itu telah dimintai keterangan. Dia mencontohkan, panjang proyek itu tidak sesuai dengan ketentuan. Pondasi proyek itu tak mampu menopang tower setinggi 71 meter. Sejumlah bagian bangunan retak dan membahayakan pengunjung.
“Contohnya saat kita uji mutu beton itu hanya 120. Padahal seharusnya 250. Bayangkan saja, kualitas 120 itu menopang 71 meter tower,†tegasnya. Menurut keterangan saksi ahli, kualitas itu bukan hanya tak sesuai speksifikasi.
Namun juga membahayakan orang yang berkunjung ke lokasi. “Contoh lain, pengerjaan tanah harusnya 12.800 meter kubik, tapi yang ada itu hanya 3.000 meter kubir. Ini bisa membahayakan keselamatan orang yang menginjak bangunan itu. Bisa berpotensi rubuh,†katanya.
Dia menyebutkan, Kejari Aceh Utara sudah meminta audit kerugian negara pada BPKP Perwakilan Aceh. “Perkiraan kita, berdasarkan hitungan saksi ahli itu kerugian negara Rp 20 miliar lebih. Atau separuh dari total nilai proyek. Untuk pastinya, kita minta audit ke BPKP,†pungkasnya. []