LHOKSEUMAWE – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Malikussaleh menyoroti anggaran rehabilitasi Rumah Dinas Jabatan Ketua DPRA bersumber dari APBA tahun 2025 mencapai Rp4,7 miliar. Mahasiswa menilai tidak pantas dana sebanyak itu hanya untuk merehab Rumah Ketua DPRA saat tingkat kemiskinan di Aceh masih sangat tinggi.
“Kita sangat menyayangkan anggaran rehab Rumah Dinas Ketua DPRA Rp4,7 miliar di tengah kondisi masih banyak rumah rakyat yang belum layak huni. Kebijakan rehab Rumah Dinas Ketua DPRA dengan dana APBA sebesar itu jelas melukai hati rakyat,” tegas Sekretaris Jenderal Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Malikussaleh, Zulfikar melalui keterangan pers, Selasa (4/3/2025).
Zulfikar dan para mahasiswa mendesak Ketua DPRA Zulfadhli menolak kebijakan rehab rumah dinas tersebut. “Kebijakan itu tidak ada indikatornya sama sekali untuk kesejahteraan rakyat Aceh. Jangan mengaku memperjuangkan kesejahteraan rakyat kalau kenyataannya DPRA hanya retorika sejahtera, tapi realitanya rakyat sengsara,” ujarnya.
“Sementara masyarakat terus menjadi prioritas paling belakang. Padahal, Aceh masih tercatat sebagai provinsi termiskin di Sumatra. Kapan Pemerintah Aceh bisa mengentaskan kemiskinan jika kebijakan yang dikeluarkan masih melukai hati rakyat,” Zulfikar mempertanyakan.
Selain besarnya anggaran rehab Rumah Dinas Ketua DPRA, miliaran dana APBA 2025 juga terkuras untuk berbagai pengadaan barang pada Rumah Dinas Pimpinan dan Anggota DPRA. Mulai dari pengadaan ranjang, lemari pakaian utama, lemari pakaian anak, kulkas, televisi, dispenser, meja makan, dan sofa set.
Zulfikar menilai pengadaan barang pada Rumah Dinas DPRA itu sama sekali bukan kebutuhan mendesak. “Seharusnya anggaran daerah digunakan untuk hal-hal yang benar-benar berdampak pada kesejahteraan rakyat, bukan sebaliknya,” tegasnya.
Sekjen BEM Unimal ini menuntut Ketua DPRA Zulfadhli segera meninjau kembali kebijakan anggaran tersebut dan berhenti mengabaikan suara rakyat. “Jika DPRA terus melanjutkan kebijakan yang tidak prorakyat, maka ini bisa menjadi bukti nyata bahwa lembaga tersebut lebih mementingkan kepentingan politik dibandingkan nasib masyarakat Aceh,” pungkasnya.