MEDAN – Deli Serdang salah satu daerah yang memiliki potensi untuk budidaya berbagai komoditas pertanian. Selain memiliki area yang luas, tanahnya pun tergolong subur. Berbagai upaya pengembangan komoditas melalui pemanfaatan teknologi demi peningkatan produksi terus dikemban inigkan.
Juli Tani, kelompok petani di Deli Serdang binaan dari Bank Indonesia (BI) Sumatera Utara, yang bergerak dibidang tanaman pangan mampu panen mencapai 21 ton per hektar dan menyerap ratusan pekerja.
Kelompok Tani Juli, juga berhasil menerapkan inovasi baru dalam pembuatan pupuk organik. Dengan memanfaatkan Mikrobakteri Alfalfa (MA-11), merupakan organisme yang dapat mengubah limbah pertanian organik, menjadi pupuk kompos hanya dalam waktu 24 jam. Kelompok ini diketuai oleh Yareli, dengan jumlah anggota saat ini mencapai 250 orang. Mereka merupakan perkumpulan tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Dusun Yogya, Deli Serdang yang berasal dari berbagai daerah.
Ketua Kelompok Juli Tani, Yareli mengatakan, lahan pertanian yang dikelola di Dusun Jogja, Desa Sidodadi, Kecamatan Beringin, di daerah ini untuk mengembangkan pertanian khususnya tanaman padi dan cabai merah. Juli Tani ditetapkan menjadi klaster cabai merah Deli Serdang oleh Bank Indonesia (BI) sejak 31 Mei 2017.
“Lahannya seluas 40 hektare, kalau kita buat rata-ratanya 20 ton berarti 800 ton untuk satu musim. Jadi kalau dua musim dalam 1 tahun berarti bergeser 1.600 ton.
Hasil panen cabai dipasok ke wilayah Sumatera dan Aceh. Permintaan cabai ke Aceh bisa sampai 2 ton per hari, tapi kita tetap tidak bisa supply 2 ton, karena permintaan di Aceh masih baru. Sebelumnya kita masih tetap harus mengutamakan pelanggan lama kita, seperti Riau, Pekanbaru, Palembang yang lebih duluan minta kirim,” kata Yareli.
Salah satu cara mengendalikan inflasiÂ
Pada saat suplainya sedikit, harga naik pembelinya sedikit. Sebaliknya, pembelinya banyak tapi barangnya sedikit. Oleh karena itu upaya yang kita lakukan ya penambahan perluasan tanam cabai, supaya tidak terjadi inflasi.
“Bulan Desember, awalnya petani kita ini menanamkan masih varietasnya F1 yang hibrida, kalau hibrida itu produktivitasnya tinggi tapi masa panennya pendek. Jadi kita mengutamakan bagaimana supaya produktivitasnya itu tinggi, tapi panennya panjang. Cabe lokal kita patenkan namanya jushiber lokal dari Sidodadi,” ujar Yareli.
“Kita kasih nama Jushiber dengan dua varietas artinya bukan cabenya yang ungu, cabe ya warna di pohon yang ungu. Kalau harga sama produktivitasnya juga sama, berkisar 15.000 ribu. Jadi kalau satu rante itu populasi tanaman berkisar 800 batang, berarti perbatangnya dari 15.000 tadi, satu rantai berarti kena di 12 juta. 12 juta berarti dikali 25 itulah biaya produksi atau hpp-nya per hektar, rata-rata kalau satu hektare itu sekitar 240 juta,” ujarnya.
Lanjut Yareli, kalau 20 ton, harganya dibuat rata-rata penjualan Rp50.000, karena harga paling tinggi Rp78.000. Namun, pada saat pandemi Covid-19 sempat murah diangka Rp30.000, maka diambil rata-ratanya saja berarti 20 ton Rp50.000. Sehingga menjadi Rp1 miliar per musim tanam.
Tanggapan Kepala Desa, Suparman.
Pak Suparman petani di sini ada berapa banyak dan bagaimana kondisinya kalau wilayah kita disini kebanyakan petani padi sebagian besar petani cabe.
Memang sangat termasuk dibilang minim untuk petani cabe tapi memang di lain tempat di lain kelompok ada sebagian petani yang menanam cabe walaupun tidak sebanyak yang berada di dalam kelompok jeritan ini tapi pada umumnya di sini semua kebanyakan sih kurang lebih 70% petani.
Jumlah penduduk kurang lebih 15.000-an dari 15.000 yang menjadi petani kira-kira bayangan kurang lebih 8.000-an. Karena memang disini mayoritas petani padi, terus ada juga petani yang Ehortikultura.
Dominan petani disini tanam padi dan cabe. Karena masyarakat kita satu prinsip, tanam apa yang kita makan terus makan apa yang kita tanam. Jadi yang gitu yang ditanam itu padi kan ya otomatis kita makan disini yang ditanam cabe kan secara enggak langsung untuk kebutuhan pokok sehari-hari ataupun sayuran kan berarti cabai. Jangan kita nanam yang tidak kita makan, kita tanam disini ternyata kita sendiri pun kekurangan bahan makanan.
Dengan adanya kelompok seperti ini bagus sekali, semua itu bisa berbagi ilmu, bisa berbagi pengalaman dengan kelompok-kelompok lain ataupun dengan desa-desa ataupun di provinsi lain, karena jarang-jarang sih, karena saya akui kalau di Juli Tani semua pengurus ataupun kelompok yang disini itu semua mempunyai skill masing-masing.
Disini ada bagian pembibitan khusus pembibitan memang dijiwai, disitu dari kecil apa sih kelemahan tanaman cabe disitu udah diapain di prosesnya, disiapin dari awal terus yang kedua disini pun ada penyediaan ataupun klinik untuk penelitian ataupun untuk sharing-sharing LED.
“Anak-anak dalam keadaan kurang mampu dapat beasiswa kuliah dikirim ke Jogja,” kata Suparman. (*)