ACEH UTARA— Hutan dirusak, rakyat ditinggalkan luka panjang banjir bandang di Kabupaten Aceh Utara. Nestapa itu, kini menggumpal bersama lumpur yang membungkus yang dijuluki wilayah pasai. Rekapitulasi data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), jumlah korban bencana terdampak banjir mencapai 433.064 jiwa.
Bukan sekadar udara yang datang dan pergi, namun endapan tanah yang seolah-olah sengaja ditinggalkan sebagai monumen penderitaan. Lumpur itu bukan hanya menutup lantai rumah, melainkan menenggelamkan harapan warga yang sudah lama hidup dalam keterbatasan.
Rumah-rumah warga porak- poranda, fasilitas umum kehilangan fungsi, lorong-lorong sempit berubah menjadi jalur buntu, tidak ada lagi tempat berteduh waktu panas dan dingin. Bagi warga, ini bukan sekadar bencana, tetapi kehancuran hidup yang terjadi di depan mata.
Di hadapan kondisi itu, warga hanya bisa pasrah. Bukan karena mereka lemah, tapi karena tenaga manusia tak sebanding dengan kekuatan air yang begitu kuat membawa segala sesuatu yang ada dihadapannya.
Banyak yang akhirnya menyerah, duduk termenung melihat rumahnya sudah tidak ada lagi kadang hanya tinggal pondasi dan sekarang tidak ada lagi tempat menetap. Akhirnya, mereka menatap pilu sisa-sisa kehidupan yang runtuh.
Banjir bandang ini bukan tak bertuan, dibalik derasnya arus, ada tangan-tangan jahil yang merambah hutan, menebang tanpa kendali, merusak tanpa rasa bersalah. Alam yang dipaksa diam akhirnya melawan, dan seperti biasa, rakyat kecil menjadi korban pertama dan paling lama merasakan akibatnya.
Hari-hari pasca banjir berlalu dengan ironi yang menyakitkan. Warga berserah diri kepada ‘Yang Maha Kuasa’, sementara kehadiran negara terasa setengah hati. Ada, tapi seperti tiada, bantuan datang seadanya.
Kondisi ini menelanjangi satu kenyataan pahit, korban banjir Aceh Utara tidak butuh belas kasihan, mereka butuh negara yang hadir sepenuhnya. Bukan sekedar pendataan, bukan sekedar pernyataan, tapi tindakan nyata di lapangan. Jika lumpur ini dibiarkan mendominasi, maka yang sesungguhnya membatu bukan hanya tanah, melainkan nurani dan tanggung jawab kekuasaan.
Dilansir dari beberapa sumber, daya rusak bencana banjir melebihi tsunami Aceh 2004 silam. Aceh Utara butuh lebih Rp20 triliun untuk
Rehabilitasi dan Rekonstruksi (Rehab-Rekon). Estimasi waktu untuk pemulihan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik pascabencana banjir ini cukup lama.
Plt. Sekda Aceh Utara, Jamaluddin, menyebutkan, pihaknya membutuhkan lebih dari Rp20 triliun untuk rehabilitasi dan rekontruksi. Di sini, Aceh Utara membutuhkan bantuan dari semua pihak terutama dari pemerintah pusat, agar kondisi masyarakat pascabencana dapat pulih, aman dan berdaya.
Kesimpulannya jika negara hadir setengah hati, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk pemulihan kehidupan masyarakat Aceh Utara?
Pusat informasi posko bencana banjir BPBD Aceh Utara pada 27 Desember 2025, bahwa jumlah korban yang terdampak sebanyak 124.549 kepala keluarga (KK) atau 433.064 jiwa, korban yang mengungsi 19.047 KK atau 67.876 jiwa.
Dampak kerusakan rumah, terendam 72.364, rumah hilang 3.506, rusak berat 6.236, rusak sedang 16.325, rusak ringan 20.280, sawah yang terendam seluas 14.509 hektare, tambak 10.674 hektare.
Sementara korban yang meninggal dunia 213 orang, 6 orang masih hilang, dan lokasi pengungsian terdapat 210 titik. []
Penulis Opini: Muhammad Fadli (Fadly P.B), Korban Banjir Bandang Aceh Utara












