hit counter

Koperasi Desa Merah Putih: Projek Negara yang Mengajarkan Desa untuk Berhutang Membaca Fenomena Percepatan dana KDMP Indonesia dalam Perspektif Sosiologi Kritis

  • Bagikan
Ilustrasi Koperasi Desa Merah Putih.

Penulis: Firdaus Mirza, Dosen Sosiologi – Universitas Syiah Kuala, Secretary Executive Lembaga Kajian Dehankam

Program Koperasi Desa Merah Putih (Kopdes MP) yang dicanangkan pemerintah dan ditargetkan beroperasi di lebih dari 80.000 desa dinarasikan sebagai terobosan untuk memperkuat ekonomi rakyat. Dengan dukungan regulasi, aparatur desa, perguruan tinggi, serta generasi muda, koperasi desa ini dipromosikan sebagai motor baru kemandirian ekonomi masyarakat.

Namun dibalik retorika pemberdayaan, tersimpan pertanyaan mendasar yang tidak boleh dilewatkan, Apakah Kopdes MP benar-benar memperkuat kemandirian desa, atau justru menjadi proyek negara untuk memperluas budaya berhutang hingga ke desa-desa yang selama ini relatif mandiri secara sosial dan ekonomi?

Menggunakan lensa sosiologi kritis, terutama pemikiran Habermas, Bourdieu, Gramsci, dan teori ketergantungan, tulisan ini melihat bahwa Kopdes Merah Putih bukan hanya program ekonomi lokal, tetapi bagian dari perubahan struktur sosial dan politik yang lebih besar di Indonesia. Ia merupakan refleksi dari gejala nasional, normalisasi hutang sebagai cara hidup dan instrumen kekuasaan.

Hutang sebagai Mesin Pembangunan.
Dalam dua dekade terakhir, negara makin aktif mempromosikan hutang sebagai instrumen pembangunan. Kredit Usaha Rakyat diperluas, pembiayaan ultra mikro (UMi) dipermudah, bansos makin terhubung dengan skema digital finansial, dan program pemberdayaan selalu disertai akses kredit. Kini, melalui Kopdes MP, desa dijadikan frontier baru ekspansi kredit nasional.

Pemerintah tampaknya memahami bahwa desa adalah pasar besar yang belum sepenuhnya tersentuh kredit formal. Dengan 74 ribu lebih desa dan 18,4 juta keluarga petani, desa menjadi sumber pergerakan ekonomi yang dari sudut pandang teknokratik harus dimasukkan ke dalam sistem finansial.

Inilah yang disebut para pemikir sosiologi kritis sebagai bentuk financialisasi kehidupan sosial, ketika hampir semua aktivitas dari produksi, konsumsi, bahkan relasi sosial dihitung, dinilai, dan digerakkan melalui mekanisme hutang.

Dalam logika kapitalisme negara, pemberdayaan sama dengan akses kredit. Logika ini tampak sederhana, padahal sangat problematik.

Narasi Pemberdayaan yang Berbalut Logika Pasar.
Dalam wacana resmi pemerintah, ada tiga narasi positif yang terus-menerus diulang:
1. memberi akses modal bagi desa,
2. memperkuat ekonomi lokal,
3. memberdayakan generasi muda melalui koperasi.

Namun jika dibaca secara kritis, ketiganya membentuk sebuah narasi besar, dimana desa harus masuk ke dalam pasar kredit agar dapat berkembang.

Masalahnya, tidak semua yang masuk ke pasar menjadi lebih kuat. Banyak justru menjadi lebih rentan. Hutang bukan sekadar alat finansial, ia adalah relasi kekuasaan.
Dan ketika negara membingkai hutang sebagai berkah pembangunan, maka masyarakat tidak lagi kritis melihat risiko, tetapi menerima hutang sebagai keharusan modernitas.

Bourdieu, Komodifikasi Modal Sosial Desa.
Masyarakat desa, apalagi di Aceh, memiliki modal sosial yang sangat kuat, yakni kepercayaan, gotong royong, solidaritas keluarga besar, serta jaringan informal musyawarah kampung. Modal sosial inilah yang selama puluhan tahun menjaga stabilitas desa dan menjadi dasar bertahannya ekonomi keluarga tanpa harus berhutang ke lembaga finansial.

Kopdes MP berpotensi mengkonversi modal sosial ini menjadi instrumen ekonomi di bawah kendali negara. Kepercayaan antarwarga dijadikan jaminan moral untuk pinjaman. Perangkat desa menjadi legitimasi sosial untuk penagihan. Solidaritas yang dulu bersifat komunal kini diarahkan untuk menjaga kelancaran kredit. Tekanan sosial anti malu digunakan untuk mengontrol tunggakan.

Dalam kacamata Bourdieu, hal ini adalah proses komodifikasi modal sosial, ketika nilai-nilai sosial desa tidak lagi bekerja untuk memperkuat komunitas, melainkan untuk melancarkan fungsi sistem finansial. Desa berubah, perlahan tapi pasti, dari arena solidaritas menjadi arena transaksi.

Habermas, Kolonisasi Dunia Kehidupan Desa.
Habermas menegaskan bahwa sistem (negara dan pasar) akan selalu berupaya masuk ke ranah kehidupan sehari-hari masyarakat. Ketika sistem berhasil memaksakan logikanya, maka dunia kehidupan yang seharusnya dijalankan oleh nilai, norma, adat, tradisi dikuasai oleh mekanisme administrasi dan pasar.

Program Kopdes Merah Putih adalah contoh nyata kolonisasi itu:
1. Desa diarahkan menjadi unit birokratis, bukan komunitas sosial.
2. Pengelolaan keuangan menggeser pola gotong royong, berganti dengan aturan dan standar.
3. Relasi lokal ditata ulang dengan bahasa kredit, bunga, risiko, dan laporan.

Di Aceh misalnya, praktik meusare-saree dan jaringan adat gampong adalah pola pengamanan sosial yang telah ada ratusan tahun. Jika peran ini digantikan koperasi hutang, maka identitas sosial desa ikut mengalami transformasi diam-diam.

Desa akhirnya tidak hanya kehilangan basis ekonominya, tetapi juga kehilangan jiwa sosialnya.

Neoliberalisme dengan Wajah Koperasi.
Koperasi dalam sejarah Indonesia adalah simbol perlawanan terhadap kapitalisme pasar. Namun kini ia sering direduksi menjadi alat negara untuk memperluas pasar kredit.

Kopdes MP sebenarnya bukan koperasi dalam makna klasik (demokrasi ekonomi warga), melainkan korporatisasi desa, integrasi desa ke dalam pasar nasional, penguatan konsumsi bukan produksi, dan penciptaan masyarakat yang tergantung pada pinjaman.

Dalam perspektif Gramsci, ini adalah bentuk hegemoni baru, yaitu negara menciptakan persetujuan (consensus) dari masyarakat desa dengan membungkus hutang sebagai kemandirian.

Mudah sekali membangun narasi bahwa desa maju bila mampu mengelola koperasi, padahal yang dikelola seringkali bukan produksi, tetapi kewajiban kredit. Kemandirian berubah menjadi ketergantungan jangka panjang.

Indonesia kini Hutang sebagai Budaya Baru.
Indonesia sedang mengalami transformasi sosial besar, hutang berubah dari praktik ekonomi menjadi budaya. Indikatornya dapat dilihat dari pinjaman rumah tangga meningkat drastis, maraknya pinjol dan kredit konsumtif, UMKM sangat bergantung pada kredit modal kerja, dan program sosial dikaitkan dengan sistem kredit atau pembayaran digital.

Hutang tidak lagi dianggap beban moral, tetapi dianggap sebagai cara modern menjalani hidup. Berhutang dianggap wajar, bahkan dianjurkan.

Desa yang selama ini menjadi benteng nilai-nilai nonkonsumtif kini mendapat tekanan untuk ikut dalam budaya tersebut. Kopdes Merah Putih mempercepat proses itu.

Pertanyaan pentingnya, Apakah ini jalan pembangunan, atau jalan ke jurang ketergantungan generasi panjang?

Mengapa Desa Rentan dalam Skema Hutang?
Ada tiga alasan struktural:
1. Ketiadaan perlindungan pasar
Desa menghasilkan produk, tetapi harga ditentukan pasar. Kredit menjadi beban ganda ketika hasil panen anjlok.

2. Pendapatan rumah tangga yang fluktuatif
Petani dan nelayan hidup dari musim. Tapi kredit adalah kewajiban sepanjang tahun.

3. Minimnya literasi finansial dan posisi tawar
Tidak semua desa siap menjadi unit finansial yang rumit. Risiko sengketa sosial karena kredit sangat tinggi.

Dengan kondisi seperti ini, memaksa desa masuk dalam skema hutang berarti memaksa desa menanggung risiko sosial dan ekonomi yang seharusnya tidak mereka tanggung.

Alternatif Jalan Pemberdayaan Desa.
1. Penguatan produksi desa, bukan distribusi hutang.
Yang dibutuhkan desa adalah alat produksi, bukan kredit konsumtif.

2. Menghidupkan kembali model ekonomi berbasis komunitas.
Mulai dari lumbung gampong, unit simpan hasil, koperasi produksi, dan pertanian regeneratif.

3. Akademisi sebagai pendamping kritis.
Perguruan tinggi harus hadir sebagai ruang kritik, bukan agen legitimasi proyek.

4. Koperasi sebagai ruang distribusi ekonomi, bukan sekadar lembaga keuangan
Koperasi harus membangun musyawarah, solidaritas, dan kepemilikan bersama.

5. Reformasi struktural pasar
Harga produk desa harus dijamin, rantai pasok dipersingkat, akses pasar diperkuat.

Tanpa perbaikan struktur pasar, kredit hanya menjadi lingkaran tak berujung dari ketidakadilan.

Membaca Ulang Makna Pemberdayaan.
Koperasi Desa Merah Putih adalah contoh bagaimana negara membingkai hutang sebagai pemberdayaan. Dalam perspektif sosiologi kritis, kita belajar bahwa kebijakan tidak pernah netral, ia adalah pertarungan wacana antara struktur kekuasaan dan kepentingan rakyat.

Jika desa diarahkan untuk hidup dari kredit, maka negara sebenarnya sedang menciptakan ketergantungan baru. Desa tampak diberdayakan dalam struktur, tetapi semakin tidak berdaya dalam substansi.

Pemberdayaan sejati bukan menciptakan masyarakat yang patuh pada skema kredit, tetapi masyarakat yang mampu mengatur ekonominya sendiri, kuat secara sosial, berdiri di atas produksi lokal, dan bebas dari tekanan hutang yang menghimpit.

Kemandirian desa tidak muncul dari kredit, tetapi dari kedaulatan ekonomi.

  • Bagikan