JAKARTA – Dalam rilis perdananya, Lembaga Kajian Desentralisasi Pertahanan dan Keamanan (Dehankam) memetakan sejumlah isu strategis yang menggambarkan bagaimana pengelolaan keamanan yang terpusat tidak lagi mampu merespons kompleksitas ancaman multisektor di Indonesia.
Dehankam mencatat setidaknya tiga isu krusial yang mencerminkan kegagalan sentralisasi keamanan. Pertama, keterbatasan kapabilitas pertahanan udara nasional yang hanya memiliki waktu respons 30 detik hingga 3,5 menit dalam menghadapi ancaman rudal hipersonik—teknologi yang telah operasional di Rusia, Tiongkok, dan Korea Utara. Kedua, meningkatnya radikalisasi digital yang menjerat lebih dari 110 anak usia 10–18 tahun di 23 provinsi melalui game online, media sosial, dan aplikasi terenkripsi. Ketiga, celah regulasi e-commerce yang memungkinkan akses mudah terhadap bahan peledak, seperti terungkap dalam insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta pada 7 November lalu.
“Krisis pertahanan udara 30 detik, radikalisasi generasi muda di 23 provinsi, dan celah e-commerce untuk bahan peledak adalah manifestasi dari sistem keamanan yang terlalu terpusat dan tidak responsif terhadap dinamika ancaman lokal,” ujar Direktur Dehankam, Yusri Kasim.
Menurutnya, desentralisasi keamanan bukan sekadar wacana administratif, melainkan kebutuhan strategis yang mendesak. Memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah, kepala daerah, dan komando regional TNI diyakini dapat membangun sistem respon cepat yang adaptif dan efisien.
“Kita membutuhkan transformasi paradigma dari top-down command and control menjadi network-centric security governance,” tegas Yusri Kasim.
Blind Spot Geografis Ancaman Hipersonik
Temuan pertama Dehankam menunjukkan keterbatasan sistem radar pertahanan udara Indonesia yang hanya mampu mendeteksi ancaman dalam hitungan detik. Rudal hipersonik yang mampu melaju 5–10 Mach menciptakan jendela respons yang sangat sempit.
Pemusatan infrastruktur radar di Jakarta dan beberapa titik strategis menimbulkan blind spot yang berbahaya bagi wilayah vital, mulai dari Sumatera Utara, Papua, hingga Kalimantan—lokasi Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai aset strategis nasional.
TNI AU merencanakan penambahan 25 radar baru pada 2025 untuk menutup celah tersebut, dengan target operasional penuh pada 2029. Program ini mencakup 13 radar pengganti dan 12 radar baru di lokasi seperti Takalar dan Banjarbaru.
Namun, Dehankam menyoroti risiko kegagalan komando akibat lemahnya interoperabilitas sistem persenjataan dari berbagai negara—Rafale (Prancis), Sukhoi (Rusia), dan F-16 (AS). Perbedaan protokol data dan algoritma C4I berpotensi memicu insiden friendly fire, seperti yang terjadi pada Perang Teluk 1991.
“Ketergantungan pada teknologi impor dan minimnya integrasi C4ISR mandiri membuat Indonesia rentan terhadap eskalasi konflik,” tulis Dehankam dalam laporannya.
Radikalisasi Digital: Ancaman Grassroots yang Terabaikan
Temuan kedua Dehankam menyoroti ancaman radikalisasi digital. Densus 88 Antiteror Polri mengidentifikasi jaringan terorisme yang merekrut 110 anak dari 23 provinsi melalui platform digital. Modus operandi dilakukan melalui empat tahap: propaganda di ruang publik, migrasi ke kanal tertutup, indoktrinasi bertahap, dan rekrutmen untuk aksi teror.
Lima perekrut ditangkap sejak Desember 2024 hingga November 2025, berperan sebagai pengendali komunikasi kelompok berafiliasi ISIS/Ansharut Daulah. Sebagian besar korban berasal dari Jawa Barat dan DKI Jakarta. Indoktrinasi dilakukan menggunakan pertanyaan manipulatif seperti “Mana yang lebih baik, Pancasila atau kitab suci?” untuk mendorong polarisasi ideologis.
Menurut Dr. Otto Syamsuddin Ishak, Peneliti Senior Dehankam, sistem keamanan berbasis pusat tidak memiliki kemampuan melakukan pemantauan granular hingga tingkat komunitas, pesantren, dan sekolah.
“Respons efektif memerlukan tata kelola multi-level: pusat untuk perencanaan strategis, regional untuk koordinasi operasional dan early warning, serta lokal untuk community intelligence dan pencegahan,” ujarnya. Ia mencontohkan model di Finlandia, Australia, dan Israel sebagai referensi sistem yang lebih resilien.
Celah E-Commerce dan Kerentanan Sektor Pendidikan
Isu ketiga mengemuka dari insiden ledakan di SMAN 72 Jakarta pada 7 November 2025. Seorang anak berkonflik dengan hukum (ABH) membuat bom menggunakan bahan yang dibeli secara online tanpa verifikasi ketat.
Bahan peledak berupa potassium chloride dengan pemicu electric match, empat baterai AAA, serta casing jeriken plastik berisi paku, semuanya dapat dibeli melalui platform e-commerce. Pelaku bahkan mengelabuhi orang tua dengan alasan membeli perlengkapan ekstrakurikuler.
Ledakan menewaskan beberapa orang dan membuat 195 siswa mengalami trauma kompleks. Program pemulihan melibatkan 56 psikolog dari HIMPSI, Polri, dan dinas terkait. Sebanyak 87% siswa memerlukan dukungan psikologis berkelanjutan, dan banyak yang mengajukan perpindahan sekolah.
Regulasi e-commerce dinilai lemah dalam mengawasi penjualan bahan kimia berbahaya dan prekursor bom. Risiko copycat attacks di sekolah-sekolah lain menjadi ancaman nyata.
Dehankam menilai desentralisasi keamanan sekolah memungkinkan dilakukannya screening berbasis konteks lokal, program pemulihan trauma yang lebih sesuai budaya, protokol keamanan yang responsif, serta koordinasi lebih erat dengan kepolisian dan TNI teritorial.
Penutup: Mendesak Bertransformasi dari Sentralistik ke Jaringan Responsif
Ketiga temuan tersebut menunjukkan perlunya reformasi tata kelola keamanan agar tidak lagi sentralistik. Dr. Otto Syamsuddin menegaskan bahwa desentralisasi bukan berarti fragmentasi atau melemahnya otoritas pusat.
“Ini evolusi dari model industrial-era menuju network governance yang adaptif dan responsif,” ungkapnya.
Menurut Otto, kesiapan pertahanan dan keamanan dipengaruhi tiga faktor yang tidak dapat dioptimalkan dari pusat: kedekatan geografis, pemahaman konteks lokal, dan kecepatan respons.
“Dehankam berkomitmen menyajikan data, analisis, dan rekomendasi berbasis bukti untuk mendorong transformasi paradigma keamanan nasional yang mendesak ini,” tutup Otto.












