Oleh : Armi Satya Putra
Kepala Seksi Verifikasi dan Akuntansi KPPN Lhokseumawe
Inflasi merupakan permasalahan klasik yang sudah ada dari zaman terdahulu, dan para ekonom berusaha untuk mengendalikan inflasi agar perekonomian tetap tumbuh dengan baik tanpa menimbulkan garis kemiskinan yang baru. Inflasi yang dikendalikan dengan baik maka akan menimbulkan gairah bagi pelaku usaha unutk berinvestasi dan pada akhirnya akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang baik.
Menurut Bank Indonesia inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga-harga barang dan jasa secara umum dan terus menerus dalam jangka waktu tertentu.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya kenaikan inflasi, yang pertama adalah cost pull inflation yaitu suatu inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga barang-barang yang menyebabkan harga pokok pembentuk dari barang tersebut naik. Kemudian yang kedua adalah inflasi yang disebabkan oleh tingginya permintaan suatu barang sementara jumlah penawarannya sedikit. Sedangkan yang ketiga adalah disebabkan oleh kondisi ketidakamanan serta situasi politik yang tidak stabil.
Salah satu hal yang menyebabkan terjadinya cost push inflation adalah kenaikan harga BBM. Kita ketahui bahwa BBM merupakan darah bagi perekonomian suatu negara. Sebagai komoditi yang tingkat sensitivitasnya sangat tinggi sekali terhadap kenaiakn harga komoditi lainnya.
Sejarah mencatat setiap terjadi kenaikan harga BBM akan mempengaruhi harga-harga komoditas lainnya. Hal ini disebabkan karena kenaikan BBM akan menyebabkan kenaikan kenaikan harga pengiriman logistik atau sektor transportasi. Maka efek berantai dari kenaikan biaya transportasi akan juga menyebabkan kenaikan harga komoditas yang bersifat volatile foods.
Volatile foods daapat definisikan sebagai komoditas pangan yang belum ditentukan harganya oleh pemerintah sehingga pembentukan harganya sangat tergantung dari pasar permintaan penawaran serta ongkos logistik transportasi.
Sebagaimana kita ketahui bersama pada tanggal 3 September 2022 pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM subsidi Pertalite menjadi Rp 10 ribu per liter dari sebelumnya Rp 7.650 per liter, BBM subsidi Solar dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter dan BBM non-subsidi Pertamax dari Rp 12.500 per liter menjadi Rp 14.500 per liter.
Kenaikan ini terpaksa diambil oleh pemerintah menyikapi terjadinya beberapa perang antara Rusia dan Ukraina yang menyebabkan meningkatnya harga energi di dunia terutama harga minyak mentah. Sampai dengan bulan September 2022 sudah diatas 100 US dolar per barel. Kenaikan harga minyak mentah tersebut menyebabkan terjadinya peningkatan subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk menjaga harga BBM tersebut.
Selain itu pemerintah juga beranggapan bahwa subsidi BBM selam ini tidak tepat penggunaannya karena banyak dinikmati oleh masyarakat mampu.
Penyesuaian harga BBM yang berakibat terhadap kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok, akan menyebabkan meningkatnya harga kebutuhan dasar konsumen.
Kenaikan harga kebutuhan dasar ini, akan menyebabkan bertambahnya jumlah penduduk miskin karena ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasar baik makanan maupun non makanan. Hal ini yang kemudian yang mendasari, pemerintah untuk mengalihkan subsidi BBM kepada penduduk miskin melalui program Perlindungan Sosial.
Penyaluran Bantuan Langsung Tunai (BLT) Bahan Bakar Minyak (BBM) diberikan kepada 20,65 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) sebesar Rp150.000 selama 4 bulan (September-Desember) dan akan disalurkan 2 kali pada bulan September-Oktober dan November-Desember, dengan data Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang bersumber dari penyaluran Bansos Program Keluarga Harapan (PKH) dan Bansos Sembako. Total nilai pagu yang dianggarkan sebesar 12.39 triliun rupiah.
Fokus utama pemerintah dalam program Perlindungan Sosial sebagai kompensasi terhadap kenaikan harga BBM,ditujukan kepada keluarga miskin dan sangat miskin. Karena memang efek penyesuaian harga BBM akan lebih dirasakan oleh kelompok masyarakat tersebut. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 mencapai 26,16 juta orang atau 9,54% dari total penduduk Indonesia. Persentase penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 9,54 persen, menurun 0,17 persen poin terhadap September 2021 dan menurun 0,60 persen poin terhadap Maret 2021. Sedangkan, jumlah penduduk miskin pada Maret 2022 sebesar 26,16 juta orang, menurun 0,34 juta orang terhadap September 2021 dan menurun 1,38 juta orang terhadap Maret 2021.
Jika pertanyaannya adalah apakah sudah tepat keputusan pemerintah untuk menyesuaikan harga BBM per September 2022 Jika dilihat dari sisi keuangan negara maka hal tersebut merupakan pilihan yang paling logis dan realistis mengingat beban subsidi BBM pada Tahun 2022 sudah di atas dari beban yang telah ditetapkan pada APBN 2022. Dimana salah satu kewajibannya adalah untuk menjaga defisit APBN sebesar 3% jika dibandingkan dengan PDB.
Jika dilihat dari sisi inflasi maka hampir dapat dipastikan bahwa kenaikan harga BBM berimplikasi pada tidak tercapainya target dari pemerintah yaitu sebesar target 3% plus minus 1%. Sampai dengan akhir september tingkat inflasi year on year itu sudah mencapai angka 5,95% dan diproyeksikan masih terdapat kenaikan harga-harga komoditas sampai dengan akhir tahun 2022.
Sedangkan untuk melihat efek dari kenaikan harga BBM terhadap penduduk miskin dan kemiskinan ekstrem itu masih akan dihitung oleh BPS pada Survei Registrasi Sosial Ekonomi pada bulan Oktober ini sehingga akan melihat efeknya pada bulan Desember 2022. Apakah kenaikan harga BBM dan bentuk pengalihan subsidi bagi masyarakat tersebut akan memiliki efek yang positif atau negatif? tentunya kita semua berharap bahwa walaupun ada penyesuaian harga BBM tapi pengalihan fungsi perlindungan sosial kenaikan harga tersebut tetap dapat mengurangi efek tersebut bagi masyarakat miskin Indonesia. (*)