Durasi, Aceh – Prosesi vonis bebas oleh hakim terdakwa korupsi Monumen Islam Samudera Pasai di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, disinyalir ada terjadi kesalahan serius. Majelis Hakim yang dipimpin R Hendral bersama anggota Sadri dan Daddy harus disikapi oleh Komisi Yudisial Perwakilan Aceh, karena dinilai bertolak belakang dengan salinan putusan pembatalan vonis oleh Mahkamah Agung (MA).
Koordinator Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menilai KY harus segera melakukan monitoring ke pengadilan itu secara aktif, bukah hanya terkesan masif seperti selama ini. Padahal, sangat jelas dengan melihat Putusan-putusan ataupun dinamika diproses pengadilan disinyalir sarat dengan kejanggalan yang terindikasi adanya mafia hukum.
Artinya, kalau dilihat hampir mencapai 95 persen putusan Pengadilan Tipikor Banda Aceh yang vonis bebas itu dikabulkan dari kasasi yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Aceh Utara. Ada kesalahan serius dalam keputusan bebas ini.
” KY tidak hanya datang duduk hanya sekedar monitor, akan tetapi juga bagaimana Saya pikir itu menjadi penting karena kalau tidak salah Saya Aceh itu sudah masuk kantor perwakilan KY. Namun, posisinya pasif mereka selama ini, ” ucap Alfian kepada Durasi, Senin (23/12).
Ia menjelaskan, pengadilan tipikor Banda Aceh itu dibangun sejak tahun 2012 lalu. Pada tahun 2013-2014 ada proses monitoring yang dilakukan oleh KPK melalui Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), yang mana disetiap persidangan ada dilengkapi Close Circuit Television (CCTV) khusus yang dipasang oleh KPK bekerjasama dengan Unsyiah.
” Nah, anehnya pertama adalah CCTV itu tidak pernah ada lagi didalam persidangan. Salah-satu upaya mungkin kedepan itu harus perlu diaktifkan kembali. Kedua, seharusnya ini menjadi perhatian semua pihak, karena ditahun 2023 KY juga mengeluarkan pernyataan bahwasanya tidak terjadi persoalan, tapi jika Kita kaji kembali dari Putusan-putusan Mahkamah Agung terindikasi adanya pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), ” sesal Alfian.
Sebelumnya Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan bebas dari Pengadilan Negeri Tipikor Banda Aceh terhadap lima terdakwa korupsi Monumen Islam Samudera Pasai di Kabupaten Aceh Utara. Para terdakwa ini sempat dibebaskan dari tuntutan Jaksa Penutut Umum oleh Pengadilan Tipikor Banda Aceh pada tanggal 14 November 2023 lalu.
Kepala Kejaksaan Negeri Lhoksukon, Teuku Muzafar, SH, MH ketika dihubungi mengaku, sudah menerima informasi terkait pembalatan vonis bebas dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, surat resmi terkait vonis MA itu belum diterima oleh Kejaksaan Negeri Lhoksukon.
Adapun kelima terdakwa itu adalah Fadhullah Bandli selaku Kepala Dinas Perhubungan Pariwisata dan Kebudayaan Aceh Utara tahun 2012-2016, Nurliana selaku pejabat pembuat komitmen, Poniem selaku konsultan pengawas, serta Teuku Maimun dan Teuku Reza Felanda selaku kontraktor pelaksana.
Terdakwa korupsi ini divonis berbeda dalam salinan putusan nomor perkara 4905.K/Pid.Sus/2024 dan 4906.K/Pid.Sus/2024 yang diperoleh Durasi. MA menerima kasasi yang diajukan oleh Penuntut umum dan membatalkan putusan PN Tipikor Banda Aceh yang membebaskan terdakwa tersebut.
MA menjatuhi hukuman terdakwa untuk Teuku Maimun selaku kontraktor pelaksana divonis 7 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 5 bulan. Begitu pula keponakannya, Teuku Reza Felanda yang juga selaku kontraktor pelaksana divonis 7 tahun penjara, denda Rp 500 juta subsider 5 bulan.
Kemudian, Fadhullah Badli selaku Kepala Dinas Perhubungan Pariwisata dan Kebudayaan Aceh Utara tahun 2012-2016 divonis penjara 6 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 4 bulan. Sementara bawahannya terdakwa Nurliana yang selaku Pejabat Pembuat Komitmen juga bernasib sama divonis penjara 6 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 4 bulan.
Terakhir, untuk terdakwa Poniem selaku Konsultan Pengawas divonis 4 tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider 3 bulan.
Proyek Multiyers
Monumen Islam Samudera Pasai adalah proyek multiyers, yaitu dikerjakan mulai 2012-2017, yang dibiayai Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) senilai Rp49 miliar. Dugaan korupsi proyek ini menyeret lima tersangka.
Hasil penelusuran tim penyidik kejaksaan pada tahun 2012, proyek tersebut awalnya dikerjakan PT PNM dengan anggaran senilai Rp9,5 mliar. Kemudian pada 2013 digarap PT LY dengan biaya Rp8,4 miliar.
Selanjutnya, pada 2014 dikerjakan PT TH dengan anggaran Rp4,7 Miliar. Berikutnya pada 2015 dilaksanakan oleh PT PNM dengan anggaran Rp11 miliar, lalu di 2016 dikerjakan PT TH dengan dana Rp9,3 Miliar, dan pada 2017 giliran PT TAP yang menggarap dengan anggaran Rp5,9 miliar.